KETIKA MARAH DENGAN ISTRIMU, PANDANGI DIA KETIKA TIDUR
“Assalaamu’alaikum…!” Ucapnya lirih saat memasuki rumah.
Tak ada orang yang menjawab salamnya. Ia tahu istri dan
anak-anaknya pasti sudah tidur. Biar malaikat yang menjawab salamku,” begitu
pikirnya. Melewati ruang tamu yang temaram, dia menuju ruang kerjanya.
Diletakkannya tas, ponsel dan kunci-kunci di meja kerja. Setelah itu, barulah
ia menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
Sejauh ini, tidak ada satu orang pun anggota keluarga
yang terbangun. Rupanya semua tertidur pulas. Segera ia beranjak menuju kamar
tidur. Pelan-pelan dibukanya pintu kamar, ia tidak ingin mengganggu tidur
istrinya.
Benar saja istrinya tidak terbangun, tidak menyadari
kehadirannya. Kemudian Amin duduk di pinggir tempat tidur. Dipandanginya
dalam-dalam wajah Aminah, istrinya. Amin segera teringat perkataan almarhum
kakeknya, dulu sebelum dia menikah. Kakeknya mengatakan, Jika kamu sudah
menikah nanti, jangan berharap kamu punya istri yang sama persis dengan maumu.
Karena kamupun juga tidak sama persis dengan maunya.
Jangan pula berharap mempunyai istri yang punya karakter
sama seperti dirimu. Karena suami istri adalah dua orang yang berbeda.
Bukan untuk disamakan tapi untuk saling melengkapi.
Jika suatu saat ada yang tidak berkenan di hatimu, atau
kamu merasa jengkel, marah, dan perasaan tidak enak yang lainnya, maka lihatlah
ketika istrimu tidur….
“Kenapa Kek, kok waktu dia tidur?” tanya Amin kala itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab kakeknya singkat.
Waktu itu, Amin tidak sepenuhnya memahami maksud
kakeknya, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut, karena kakeknya sudah
mengisyaratkan untuk membuktikannya sendiri.
Malam ini, ia baru mulai memahaminya. Malam ini, ia
menatap wajah istrinya lekat-lekat. Semakin lama dipandangi wajah istrinya,
semakin membuncah perasaan di dadanya. Wajah polos istrinya saat tidur
benar-benar membuatnya terkesima. Raut muka tanpa polesan, tanpa ekspresi,
tanpa kepura-puraan, tanpa dibuat-buat. Pancaran tulus dari kalbu. Memandaginya
menyeruakkan berbagai macam perasaan.
Ada rasa sayang, cinta, kasihan, haru, penuh harap dan
entah perasaan apa lagi yang tidak bisa ia gambarkan dengan kata-kata. Dalam
batin, dia bergumam,
“Wahai istriku, engkau dulu seorang gadis yang leluasa
beraktifitas, banyak hal yang bisa kau perbuat dengan kemampuanmu. Aku yang
menjadikanmu seorang istri. Menambahkan kewajiban yang tidak sedikit.
Memberikanmu banyak batasan, mengaturmu dengan banyak aturan. Dan aku pula yang
menjadikanmu seorang ibu. Menimpakan tanggung jawab yang tidak ringan. Mengambil
hampir semua waktumu untuk aku dan anak-anakku.
Wahai istriku, engkau yang dulu bisa melenggang kemanapun
tanpa beban, aku yang memberikan beban di tanganmu, dipundakmu, untuk mengurus
keperluanku, guna merawat anak-anakku, juga memelihara rumahku. Kau relakan
waktu dan tenagamu melayaniku dan menyiapkan keperluanku. Kau ikhlaskan rahimmu
untuk mengandung anak-anakku, kau tanggalkan segala atributmu untuk menjadi
pengasuh anak-anakku, kau buang egomu untuk menaatiku, kau campakkan perasaanmu
untuk mematuhiku.
Wahai istriku, dikala susah, kau setia mendampingiku.
Ketika sulit, kau tegar di sampingku. Saat sedih, kau pelipur laraku. Dalam
lesu, kau penyemangat jiwaku. Bila gundah, kau penyejuk hatiku. Kala bimbang,
kau penguat tekadku. Jika lupa, kau yang mengingatkanku. Ketika salah, kau yang
menasehatiku.
Wahai istriku, telah sekian lama engkau mendampingiku,
kehadiranmu membuatku menjadi sempurna sebagai laki-laki. Lalu, atas dasar apa
aku harus kecewa padamu?
Dengan alasan apa aku perlu marah padamu?
Andai kau punya kesalahan atau kekurangan, semuanya itu
tidak cukup bagiku untuk membuatmu menitikkan airmata. Akulah yang harus
membimbingmu. Aku adalah imammu, jika kau melakukan kesalahan, akulah yang
harus dipersalahkan karena tidak mampu mengarahkanmu. Jika ada kekurangan pada
dirimu, itu bukanlah hal yang perlu dijadikan masalah. Karena kau insan, bukan
malaikat.
Maafkan aku istriku, kaupun akan kumaafkan jika punya
kesalahan. Mari kita bersama-sama untuk membawa bahtera rumahtangga ini hingga
berlabuh di pantai nan indah, dengan hamparan keridhoan Allah swt. Segala puji
hanya untuk Allah swt yang telah memberikanmu sebagai jodohku.”
Tanpa terasa airmata Amin menetes deras di kedua pipinya.
Dadanya terasa sesak menahan isak tangis. Segera ia berbaring di sisi istrinya
pelan-pelan. Tak lama kemudian iapun terlelap.
***
Jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Aminah,
istri Amin, terperanjat “Astaghfirullaah, sudah jam dua?”
Dilihatnya sang suami telah pulas di sampingnya.
Pelan-pelan ia duduk, sambil memandangi wajah sang suami yang tampak kelelahan.
“Kasihan suamiku, aku tidak tahu kedatangannya. Hari ini aku benar-benar capek,
sampai-sampai nggak mendengar apa-apa. Sudah makan apa belum ya dia?” gumamnya
dalam hati.
Mau dibangunkan nggak tega, akhirnya cuma dipandangi
saja. Semakin lama dipandang, semakin terasa getar di dadanya. Perasaan yang
campur aduk, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, hanya hatinya yang bicara.
“Wahai suamiku, aku telah memilihmu untuk menjadi imamku.
Aku telah yakin bahwa engkaulah yang terbaik untuk menjadi bapak dari
anak-anakku. Begitu besar harapan kusandarkan padamu. Begitu banyak
tanggungjawab kupikulkan di pundakmu.
“Wahai suamiku, ketika aku sendiri kau datang
menghampiriku. Saat aku lemah, kau ulurkan tanganmu menuntunku. Dalam duka, kau
sediakan dadamu untuk merengkuhku. Dengan segala kemampuanmu, kau selalu ingin
melindungiku.
“Wahai suamiku, tidak kenal lelah kau berusaha
membahagiakanku. Tidak kenal waktu kau tuntaskan tugasmu. Sulit dan beratnya
mencari nafkah yang halal tidak menyurutkan langkahmu. Bahkan sering kau lupa
memperhatikan dirimu sendiri, demi aku dan anak-anak.
“Lalu, atas dasar apa aku tidak berterimakasih padamu,
dengan alasan apa aku tidak berbakti padamu? Seberapapun materi yang kau
berikan, itu hasil perjuanganmu, buah dari jihadmu. Jika kau belum sepandai
da’i dalam menasehatiku, tapi kesungguhanmu beramal shaleh membanggakanku.
Tekadmu untuk mengajakku dan anak-anak istiqomah di jalan Allah
membahagiakanku.
“Maafkan aku wahai suamiku, akupun akan memaafkan
kesalahanmu. Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah yang telah mengirimmu
menjadi imamku. Aku akan taat padamu untuk mentaati Allah swt. Aku akan patuh
kepadamu untuk menjemput ridho-Nya..”
Rabbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota’ayun
waj’alna lil muttaqiina imaamaa.
sources : by Fatah Al Fajitani - Jan 4, 2015