- Jurus Kesuksesan Ratu Agent Asuransi Ida Kuraeny
Ida
Kuraeny, profesional agent PT. Asuransi Jiwa Sewu New York Life (kini
berganti nama menjadi Sequislife: red), bisa dibilang “ratunya” jagad
asuransi Indonesia. Betapa tidak? Cukup berbekal pendidikan formal SMKK,
dan sejumlah program ekstensi, Ida melejit sebagai penjual asuransi
terbaik di negeri ini. Sejak tahun 1997 hingga 2001 lalu, Ida selalu
masuk kualifikasi MDRT (Million Dollar Round Table). Tahun 1999 ia
mencapai posisi Top of the Table. Sebuah posisi prestisius di antara
para anggota MDRT lainnya. Tahun 1998, ia meraih penghargaan sebagai Top
Agent of the Year. Dan tahun 2000 dan 2003 ia meraih Top Agent Award
versi Dewan Asuransi Indonesia (DAI) kategori Best Senior Productive
Producer. Terlalu panjang jika disebutkan semua pernghargaan yang
diraihnya.
Menekuni asuransi sejak usia 24 tahun, Ida
menganggapnya sebagai profesi “kecelakaan”. “Tidak ada seorang agen pun,
di asuransi ini, yang awalnya bercita-cita menjadi agen,” kenang Ida,
kelahiran Surabaya, 13 Agustus 1969. Keluarga tidak mendukung karena
cerita-cerita miring di profesi ini. Syukur, sang suami malah paling
semangat mendukungnya. Namun, keputusan “mantan” pegiat MLM dan sales
door to door ini tidak salah. Ia menemukan jati diri bisnisnya di
asuransi.
Dengan prinsip learning by doing, Ida membuktikan profesinya sangat layak diperhitungkan. Bahkan patut jadi kebanggaan. Ida berhasil menjual premi rata-rata per tahun di atas Rp500 juta.
Kini ia memiliki lebih dari 600 nasabah. Khusus tahun 2001 lalu, total
penghasilan dari komisi tahun berjalan, komisi tahun sebelumnya,
berbagai bonus, dan renewel business, bisa mencapai di atas Rp500 juta!
Bukan
itu saja! Kepiawaian di bidang asuransi –yang ditimbanya dari
pengalaman– telah melahirkan lembaga konsultan marketing bernama Ida
Kuraeny & Associates yang berkantor di Lt.37 Wisma GKBI, Jl. Jend.
Sudirman, Jakarta Pusat. Sebuah lembaga yang memberikan pelayanan public
speaking bidang asuransi, marketing, customer service, dan management
skills. Dengan lembaga itu, Ida ingin supaya ketika orang bicara
asuransi, mereka ingat namanya. Tentu saja impian itu makin menjadi
kenyataan setelah Ida berhasil menyelesaikan bukunya tentang seluk beluk
profesi agen asuransi yang berjudul Membuat Impian Menjadi Kenyataan (Gramedia, 2003).
“Saya
dulu sering perhatikan orang-orang di sekeliling Sudirman, di mal-mal,
di café-café. Keren-keren bajunya…bawa mobil mewah. Kapan ya bisa
seperti itu? Saya bayangkan kalau bisa seperti mereka. Itu memotivasi
diri saya,” kenang Ida. Dan mimpi ibu dari Oto, Ony, Sela, dan Ridho ini
kesampaian sudah. Berikut petikan wawancara Edy Zaqeus dengan Ida
Kuraeny di kantornya di Jakarta Selatan.
Bagaimana awal ceritanya Anda bisa nyemplung di bisnis asuransi?
Tidak
ada seorang agen pun, yang awalnya bercita-cita menjadi agen asuransi.
Nggak ada. Accident. Kita tahu kan profesi agen asuransi itu paling
tidak diminati, paling ditakuti, atau pilihan terakhir. Bahkan keluarga
awalnya sama sekali tidak mendukung. Padahal, menjual asuransi yang kita
dekati kan keluarga dulu, seperti di MLM. Dengan kondisi seperti itu
saya tertantang. Tapi karena waktu itu leader saya kurang memperhatikan,
tahun 1991 saya hanya bertahan tiga bulan di asuransi Universal
Lifeindo dari Philipina dan partner Indonesianya dari Gunung Sewu
Kencana. Tahun 1992 mereka diakuisisi New York Life International, saya
kembali masuk tahun 1994. Tahun itu keputusan saya bulat. Dari situlah
saya mulai menjadi agen.
Apa yang dilakukan seorang agen asuransi?
Sebenarnya
sama dengan MLM. Kalau MLM produk dalam bentuk barang, kalau saya
bentuknya kertas jaminan masa depan. Sifatnya abstrak. Butuh kemampuan
luar biasa untuk meyakinkan mereka supaya membeli produk asuransi.
Seperti di industri MLM, pertama kita harus mengumpulkan bank nama.
Investasi atau aset terbesar kita ada di bank nama itu. Di asuransi
minimal kita punya 100 bank nama. Dari 100 nama itu kita kembangkan,
diklasifikasikan mana yang potensial membeli asuransi.
Dulu
saya berawal dari pasar-pasar kecil. Karena saya bukan anak orang kaya.
Mau nawari direktur, ya saat itu nggak punya nyali. Yang membuat saya
surprais sampai hari ini adalah, dari pasar yang kecil-kecil, saya
berubah jadi (mempunyai) pasar besar. Orang-orang di perusahaan mengenal
saya sebagai agen kelas teri. Tapi kecil-kecil beratnya bisa satu ton
ha ha ha… Saya bisa menjual 100 polis dalam satu tahun, secara konsisten
tiga tahun berturut-turut.
Bagaimana dari agen kelas teri jadi ke pangsa pasar yang besar?
Karena
saya merawat after sales service. Komisi di asuransi besar, kan? Kita
tahu komisinya 30%, ditambah bonus-bonus kalau kita mencapai level
tertentu. Dengan komisi tadi saya alokasikan sebagian untuk biaya
servis. Hal itu jarang dilakukan oleh agen lain. Saya punya moto, masa
depan saya merupakan investasi saya hari ini. Sebagai agen kita tidak
punya bos, bisnis sendiri, wirausaha mandiri. Kita itu entrepreneur.
Berarti harus punya modal. Modalnya apa? Yaitu tadi bagaimana
maintenance klien saya after sales service. Contohnya kartu ucapan edisi
khusus untuk para nasabah. Saya juga kerjasama dengan tukang bunga,
tukang kue, tukang balon untuk saya kirim kepada mereka.
Mengapa nyemplung di asuransi?
Waktu
saya keluar, suami saya tetap menekuni asuransi. Setelah di resepsionis
saya kan di marketing, deal dengan orang-orang lain. Sehari punya
target ketemu delapan customer, delapan tempat. Lalu suami menyarankan,
‘Dengan ketemu delapan orang sehari, kenapa tidak di asuransi? Uangnya
lebih gedhe?’. Di marketing saya dapat semua fasilitas. Hanya saja orang
umumnya agak sulit melepaskan kenyamanan kan? Tapi dengan kepercayaan
ketemu jumlah orang yang sama, uang akan lebih besar, saya bilang saya
mau dapat yang lebih besar lagi!
Lalu
saya mulai di asuransi dari nol. Saya lebih memilih ke professional
agent. Saya tidak memilih di manajemen, karena kalau di manajemen
berarti saya employee tidak beda dengan yang dulu. Sebagai professional
agent pendapatannya tidak terbatas. Yang saya lihat fleksibel waktu dan
fleksibel income.
Bagaimana cara memprospek orang-orang atas?
Menghadapi
prospek seorang direktur pun, saya harus punya posisi selevel dengan
dia. Dalam arti income ya…. Kalau kepintaran mungkin dia lebih pintar di
bidangnya. Tapi bidang asuransi, sayalah ahlinya. Itu harus diciptakan!
Supaya calon prospek melihat, ‘Oh ya, saya nggak salah orang nih’. Self
confidence kita harus dibentuk dengan bantuan performance tentunya,
skill, attitude, dan pola pikir. Dia akan melihat apakah ‘Orang ini
layak nggak berbisnis dengan saya’.
Pada
dasarnya kita mencari kesamaan, kan? Baru kita bisa in di situ.
Sekarang saya lebih banyak ke pengusaha. Berarti pola pikir saya harus
sama dengan seorang pengusaha. Misalnya, apa saja sih yang mereka
pikirkan? Bicara masa depan, masalah karyawan. Saya sekarang lebih suka
jual pada owner perusahaan. Sekali kerja saya bisa dapat polis di atas
sepuluh. Yang saya incar karyawannya, makanya saya harus berpola pikir
sebagai owner. Begitu ketemu bikin janji, kita nyambung.
Makanya
tergantung pasarnya. Bahasa saya menyesuaikan. Jadi mereka bisa melihat
‘Eh, gaya bahasanya sama dengan saya’. Saya terbiasa menyamakan logat
dengan calon prospek. Saya ketemu orang Jawa saya ikuti logatnya, ketemu
orang Sunda saya bahasa Sunda. Senang mereka. Itu bermanfaat sekali
karena suasana pembicaraan jadi alami. Jadi saya harus menyamakan
kedudukan saya dulu.
Dari mana Anda belajar teknik-teknik seperti itu?
Learning
by doing. Dengan saya sering ketemu orang, lama kelamaan saya tahu
karakter orang. Belajar dengan sendirinya. Baca juga, itu informasi
paling murah dan cepat. Saya bukan lulusan S-1, S-2, MBA bukan…. SMA
saja. Mereka yang punya titel lebih tinggi itu pasti lebih pintar dari
saya seharusnya.
Ketrampilan-ketrampilan dasar apa yang mesti dimiliki seorang agen asuransi?
Sederhana.
Etiket nomor satu, karena itu yang menjembatani kita bisa bicara lebih
dalam. Kalau kesan pertama tidak mengenakkan, apa akan terjadi pertemuan
kedua? Etiket adalah tata krama, tata bahasa, intonasi suara, gaya
bahasa, itu mempengaruhi. Gaya bahasa menunjukkan intelektualitas kita,
kan? Gaya bahasa dan kepandaian berkomunikasi menentukan.
Harus
punya ketrampilan membaca situasi. Saya harus bisa analisis. Dari suara
pun bisa. Performance. Kita harus bisa menempatkan diri dengan siapa
yang akan kita temui. Saya harus menyesuaikan. Kita juga perlu tahu
asuransi dipandang dari sudut agama, dari segi hukum, segi ekonomi,
sosial, psikologi. Saya ndak harus sekolah dulu di UI ambil semua
jurusan ha ha ha… Ndak mungkin, kan? Belajar sambil jalan. Baca sambil
ketemu orang dan menganalisa.
Saat bertemu prospek pertama kali, biasanya apa yang ditawarkan?
Awalnya
–saat tidak berhasil—saya langsung tabrak lari. Artinya, begitu dapat
janji ketemu, saya datang dengan proposal. Ndak peduli perasaan cocok
apa ndak, main tembak aja, Rp100 juta uang pertanggungan bayar premi
Rp12 juta. Orang shock! Jadi kegagalan itu saya analisis. Saya harus
tahu dulu masa depan dia. Saya bertindak sebagai seorang konsultan.
Bukan sebagai penjual asuransi. Konsultan memberikan solusi, bukan
memberi produk langsung. Jadi fact finding dulu, orang ini ke mana arah
hidupnya. Harus banyak bertanya dan banyak mendengar.
Di
situ kuncinya. Kita akan bisa mengarahkan. Bagaimana tekniknya, ya
banyak belajar dan bertemu orang setiap hari. Di perusahaan kami,
standar ketemu dua orang sehari, saya lebihkan empat. Rasionya ketemu
sepuluh, baru satu closing (yang mau beli: red). Itu bagi yang baru
bergabung. Seperti saya sekarang, sekali ketemu bisa closing dengan uang
pertanggungan cukup besar.
Saat
bertemu prospek, jangan bersikap seperti hakim yang mendakwa kliennya.
Mereka tidak akan senang. Kuncinya, saat ingin dapat informasi, berilah
informasi tentang diri kita dulu. Kreatifitas harus tinggi. Insting dan
ketajaman harus bisa menyesuaikan dengan situasi.
Pernah mengalami kesulitan dalam memrospek?
Pada
saat bertemu dengan orang yang sudah kaya, sulit sekali mengambil uang
mereka. Sulit meyakinkan bahwa dia tetap butuh asuransi. Duitnya nggak
bakalan habis, bagaimana? Dari segi agama sudah ndak mempan, ekonomi apa
lagi? Lalu dari mana lagi? Saya singgung dari segi egonya,
psikologinya. Saya sangat percaya bisnis dia tidak habis untuk tujuh
turunan. Tapi saya juga yakin dalam kondisi sudah di puncak tertinggi,
dia butuh pengakuan secara sosial-ekonomi. Butuh aktualisasi diri, masuk
ke lingkungan badan sosial, ke yayasan-yayasan. Kan banyak
yayasan-yayasan sosial sebagai bentuk aktualisasi diri, supaya seseorang
dihargai masyarakat luas? Nah, saya masuk dari situ. Mereka bisa
memberi dana abadi kepada yayasan. Kita dibenarkan memberikan santunan
kematian dengan ahli waris berbentuk yayasan.
Pengalaman “menyedihkan” ada?
Ada!
Saya dimarahin. Kalau Anda pernah ditolak asuransi (karena hasil
medical check-up: red), masuk ke asuransi lain lebih sulit. Boleh
dibilang 90% tidak diterima lagi. Kecuali, asuransi itu main-main, atau
ada data-data yang disembunyikan. Pada waktu ditolak, tidak semua orang
siap. Akhirnya nasabah tadi marah.
Bagaimana menaklukkan prospek yang sudah ikut asuransi atau banyak alasan penolakan?
Diskusikan
kembali, karena asuransi banyak jenisnya. “Kalau Bapak sudah beli, saya
malah senang hati. Berarti saya tidak ketemu orang yang salah!” Kenapa?
Karena mereka jelas lebih mengerti dong. Saya tidak perlu menerangkan
dari awal sekali. “Saya sudah banyak lho asuransinya..” Tidak selalu,
kalau prospek ada masalah, langsung saya jawab. Capek kalau begitu. Saya
analisis dulu, apakah ini benar-benar masalah, objections, atau sekedar
kepura-puraan untuk menolak. Saya selalu bilang, “Kalau saya bisa
menjawab semua keberatan Bapak, Bapak mau beli asuransi dari saya…?”
Saya tantang begitu.
Perbedaanya
orang Indonesia dengan orang Amerika kalau beli asuransi; orang
Indonesia…”Ida, berapa nanti yang bakal gue terima? Duit gue bakal
berapa 15 tahun kemudian?” Kalau orang Amerika, yang sudah mengenal
asuransi..”Nanti yang akan diterima keluargaku berapa?” Beda, kan? Satu
buat ‘keluarga’, satu buat ‘saya’… ego, kan?
Solusinya apa?
Ajaklah
prospek diskusi dulu. Tidak ada ikatan membeli, kan? Tidak ada maksud
menggurui. Kalau agen kreatif, dia bisa mengubah prospek yang semula
sekadar ingin tahu, berubah jadi pembeli. Tugas kita hanya menjelaskan.
Di asuransi jiwa itu yang diasuransikan adalah nilai ekonomi kita
pengertiannya, bukan jiwanya. Kalau meninggal, tidak bekerja, income
hilang dong. Jadi yang diasuransikan incomenya, bukan jiwanya. Saya
harus tahu financial commitment prospek. Saya harus tahu income dan
pengeluarannya, karena saya seorang konsultan, bukan penjual. Kebanyakan
agen kita menjual secara umum saja. Nasabah beli Rp.1-10 juta sudah
cukup. Dianggap sudah besar oleh seorang agen. Ini kejadian, saya gali
lagi nasabah itu, dia bisa beli Rp100 juta!
Berapa waktu Anda alokasikan untuk setiap prospek?
Tergantung,
ya. Di industri kita pada dasarnya kalau ada buying signal (tanda-tanda
membeli) baru akan terjadi penjualan. Tanda-tanda itu harus kita
ciptakan dulu. Itu mempercepat proses. Buying signal itu antara lain
begini; ”Ya, udah deh, kamu datang dulu ke tempatku, jelaskan 15 menit
saja!” Kedua, dia banyak bertanya detailnya. “Kalau ada perang
bagaimana?”, “Kalau saya pindah ke luar negeri bagaimana?” Kita harus
ciptakan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke buying signal.
Pengalaman paling menyenangkan di bisnis ini?
Wow….kalau
dapat cash besar! Satu keluarga beli Rp600 juta premi dalam waktu dua
tahun. Padahal waktu itu rekor tertingginya di tahun 1998, sekali beli
adalah Rp250 juta. Jadi boleh dibilang Allah mengijinkan… Pada waktu
krisis penjualan saya meningkat. Tahun 1998 itu saya yang pertama
memecahkan rekor Rp1 milyar untuk perusahaan saya. Rekor perusahaan
sejak 1992 baru terpecahkan tahun 1998 oleh saya. Secara nasional itu
rekor kedua, karena yang pertama dipecahkan oleh AIA Rp1 milyar di tahun
1997. Saya baru bisa pecahkan tahun 1998. Saya the Best Agent tahun
1999 di perusahaan. Sekarang untuk the Best Agent harus menjual Rp2,5
milyar setahun.
Apakah Anda punya target-target dalam bisnis ini?
Tahun
2000 saya dapat penghargaan sebagai Top Agent Award kategori Best
Senior Productive Producer (Peringkat I) dari DAI. Saya berprinsip harus
punya peringkat di DAI. Itu prestisius nasional. Tapi yang lebih
prestisius lagi adalah anggota MDRT yang anggotanya para agen seluruh
dunia. Ada tiga katagori MDRT; biasa, Court of Table, dan Top of the
Table. Untuk jadi Top of the Table, dia harus punya kualifikasi
penjualan enam kalinya MDRT biasa. Untuk MDRT biasa tahun 2001, dia
harus menjual Rp439 juta premi. Saya sudah lima kali berturut-turut
kualifikasi MDRT. Di Indonesia (sampai 2002: red), kurang dari delapan
orang dengan kualifikasi MDRT lima kali berturut-turut. Tahun 2001
adalah MDRT keenam saya berturut-turut. Mimpi saya adalah menjadi MDRT
seumur hidup. Kedua, bisa sepuluh kali berturut-turut. Enam kali sudah,
itu rekor di Indonesia (data terakhir hingga 2004, Ida sudah meraih
kualifikasi MDRT 10 kali: red).
Mimpi lainnya?
Mimpi
lain saya menjadi (public) speaker. Saya sekarang sudah punya accociate
sendiri untuk mengeducate para agen. Visi saya, dengan menjadi agen
profesional, kita juga bisa punya bisnis sendiri. Ssalah satunya adalah
sebagai public speaker. Secara finansial, saya tidak ingin punya masalah
keuangan. Alhamdulilah, kami sudah lewati masa-masa kritis tersebut.
Saya juga ingin membuktikan kepada masyarakat, bahwa profesi agen
asuransi itu bukan profesi yang dipandang sebelah mata. Saya bangga
sebagai agen profesional, karena saya bisa diterima di kalangan mana
pun. Kalau kita profesional, hasil jerih payah kita itu ada harganya.
Saran saya kepada agen baru adalah disiplin.
Milikilah disiplin kerja yang tinggi, karena pekerjaan kita hari ini
tidak langsung berbuah. Kalau mandeg, maka untuk memulai usaha lagi
sulit. Disiplin diri, membangun performance diri, membangun motivasi
diri, dan tularkan antusias kita kepada mereka, yang selama ini belum
mengerti asuransi. Belajarlah pada mereka yang sudah sukses.*