Kamis, 18 Desember 2014

Lokomotif, Sang Atlet, dan Si Ibu Tua



Kisah Si Lokomotif, Sang Atlet, dan Si Ibu Tua

Alkisah tersebutlah sebuah negeri di mana semua lokomotif kereta bisa berbicara seperti manusia. Pada suatu hari, para lokomotif mendapat tugas menarik serangkaian gerbong yang sangat panjang dan berat melintasi sebuah gunung yang sangat tinggi. Semua lokomotif menganggap tugas tersebut mustahil, kecuali sebuah lokomotif kecil. Lokomotif lainnya yang jauh lebih besar dan kuat mencemooh lokomotif kecil ini. Mereka menganggap diri mereka yang lebih kuat saja tidak akan sanggup mengemban tugas seperti ini, apalagi lokomotif kecil yang lemah itu.
Tanpa mengindahkan cemoohan lokomotif lainnya, si lokomotif kecil berusaha menghela rangkaian gerbong ke atas bukit. Tak henti-hentinya ia berpikir, “aku bisa, aku bisa!” Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya ia terus mendaki dan akhirnya berhasil melewati puncak bukit. 
Ya, cerita tadi memang hanya cerita anak-anak berjudul ‘The Little Engine That Could’ yang ditulis oleh Mary C. Jacobs. Walaupun demikian, bukan berarti kisah yang sama tidak terjadi di dunia nyata. 
Hendrawan, atlet bulutangkis Indonesia di era 90-an juga memiliki pengalaman yang sama. Tahun 1997, Hendrawan dinyatakan sudah habis kariernya oleh PBSI. Karena faktor usia dan prestasinya yang menurun, PBSI bermaksud mengeluarkan Hendrawan dari Tim Pelatnas. Tapi Hendrawan punya keyakinan sendiri, bahwa kemampuannya belumlah habis. Ia percaya bahwa dirinya masih dapat meraih prestasi yang lebih baik lagi. 
Tahun 1998, Hendrawan menjadi penentu kemenangan Tim Thomas Indonesia sekaligus menjuarai Singapura Terbuka. Di tahun 2000, Hendrawan kembali menjadi penentu kemenangan Tim Thomas Indonesia. Di tahun itu pula ia mengukir namanya dengan meraih medali perak dalam Olimpiade Sydney. Masih di tahun yang sama, ia menjadi runner-up Jepang Terbuka. Kemudian di tahun 2001, ia merebut gelar Juara Dunia Tunggal Putra, sebuah gelar paling prestisius dalam cabang bulu tangkis. Tahun 2002, ia kembali membawa Indonesia mempertahankan Piala Thomas ke Tanah Air.
Bukan hanya atlet dengan fisik prima seperti Hendrawan yang bisa berprestasi. Percaya pada diri sendiri, percaya akan kemampuannya, dapat ditunjukkan oleh siapa pun. Tanpa mengenal pekerjaan, status, umur dan jenis kelamin.
Masih ingat kisah Mak Eroh yang pernah ditayangkan di SEMMangat Jumat ? Prestasi Mak Eroh berangkat dari keprihatinan beliau pada kondisi para petani di sekitar tempat tinggalnya yang sangat tergantung pada musim hujan. Mereka hanya dapat bertani sekali setahun, saat  hujan datang. Mak Eroh yakin, apabila para petani mendapatkan aliran air yang kontinu, mereka dapat bertani sepanjang tahun. 
Tak ingin berpangku tangan, Mak Eroh yang telah berusia 50 tahun ini berjuang sendirian membuat saluran air yang menghubungkan mata air di puncak Gunung Galunggung ke desanya. Selama 47 hari beliau bergelantungan sendirian di tebing cadas yang curam untuk membuat saluran air. Tidak ada orang yang membantu karena orang-orang berpikir itu adalah pekerjaan sia-sia dan mustahil. Alih-alih membantu, penduduk desanya malah mencibir dan mencemooh. 
Mak Eroh yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas III SD ini, hanya menggunakan tali areuy, tali sejenis rotan sebagai penahan ketika bergelantungan. Sedangkan alat yang dipakai untuk ‘mengebor’ tebing cadas hanyalah cangkul dan balincong, serupa linggis pendek.
Cibiran dan cemoohan penduduk akhirnya bungkam saat saluran air buatan Mak Eroh jadi dan berhasil mengalirkan air ke desanya. Namun Mak Eroh tidak berhenti sampai di situ. Dengan semangat yang tak kenal menyerah, Mak Eroh melanjutkan membuat saluran air berikutnya sepanjang 4,5 kilometer mengitari 8 bukit dengan kemiringan 60-90 derajat. Kali ini pengerjaannya dibantu oleh warga desa yang kini telah percaya dengan semangat Mak Eroh. Dalam waktu 2,5 tahun, pekerjaan lanjutan itu terselesaikan dengan baik. Hasilnya? Bukan hanya lahan pertanian sawah Desa Santana Mekar yang terairi sepanjang tahun. Tapi juga dua desa tetangga yang ikut menikmati kucuran air hasil kerja keras Mak Eroh setelah warganya membuat saluran penerus, yaitu Desa Indrajaya dan Sukaratu. Total 25 hektar area persawahan terairi sepanjang tahun berkat kerja keras Mak Eroh. 
Aksi Mak Eroh akhirnya sampai juga ketelinga Presiden Suharto. Atas aksinya yang tergolong berani dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar, Mak Eroh mendapat penghargaan Upakarti Lingkungan Hidup pada tahun 1988. Setahun kemudian,
dia juga meraih penghargaan lingkungan dari PBB.
Dua kisah di atas memberi hikmah bahwa sebenarnya kita memiliki kepercayaan diri yang tinggi atas kemampuan yang dimiliki. Seperti yang dikatakan oleh Mary Kay Ash, pengusaha kosmetik sukses asal Amerika, ”Anda bisa melakukannya jika Anda berpikir demikian, dan jika Anda kira tidak dapat melakukannya, Anda pun benar.” William Arthur Ward, penulis kondang asal Amerika mengatakan, ”Saya adalah pemenang karena saya berpikir seperti pemenang, bersiap jadi pemenang, dan bekerja serupa pemenang.” Ward betul, jika Anda berpikir menjadi seorang pemenang, maka memang benar Anda seorang pemenang.
Percaya akan kemampuan diri sendiri. Jadilah lokomotif dan teruslah bergerak untuk maju.
*dari berbagai sumber

Pemenang Sejati



Sukses Adalah Milik Pemenang Sejati

"Pemenang sejati tahu bahwa kekalahan adalah bagian dari proses untuk menang. Orang-orang yang kalah dalam hidupnya hanya berpikir pemenang tidak pernah kalah. Orang yang selalu kalah (pecundang) adalah orang yang hanya mampu bermimpi untuk menang dan melakukan semua hal yang mungkin untuk menghindari kesalahan,“ Kalimat tersebut ditulis oleh Robert T. Kiyosaki, seorang usahawan, motivator dan penulis terkenal. Salah satu bukunya yang laris adalah Rich Dad Poor Dad.
Orang sukses tampak menonjol dari orang lain karena dia belajar lebih banyak dari orang lain. Hidup adalah lautan ilmu. Di mana saja kita bisa belajar dan memang harus terus belajar hingga akhir hayat.
Sukses adalah pencapaian terbaik dari setiap usaha yang telah kita lakukan. Mengartikan pencapaian terbaik tidaklah sama dengan memperoleh peringkat terbaik. Pencapaian terbaik adalah hasil yang telah kita peroleh dari hasil kerja keras secara maksimal.
Bingung dengan kalimat di atas? Ibaratkan seorang pelari yang akan berlomba. Jauh sebelum lomba dimulai, ia sudah menyiapkan diri secara optimal, karena berniat memberikan upayanya yang terbaik. Saat perlombaan dimulai, ia mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk memenangkan lomba. Ternyata, setelah lomba berakhir ia hanya menduduki peringkat ke 3.
Apakah dengan demikian ia tidak sukses?
Sebelum berlomba, pelari tadi berniat memberikan upaya terbaik, dan ia telah berhasil melakukannya. Dengan demikian, bisa dikatakan ia telah sukses. Kalaupun ia hanya menduduki posisi ke 3, itu hanya berarti ada 2 orang yang kemampuannya lebih baik.
Apabila pelari tadi berpikir sebagaimana orang sukses, ia akan melihat hasil lomba sebagai alat ukur kemampuan. Dengan mengetahui ada 2 orang yang saat ini kemampuannya lebih baik, ia mengetahui di lain kesempatan berapa banyak lagi upaya yang harus dikerahkannya untuk merebut gelar nomor 1.
Ingat ketika waktu kita masih kecil dan belajar berjalan ? Ketika kita belajar berjalan pasti kita akan merasakan jatuh. Apa jadinya ketika terjatuh membuat kita takut kembali belajar berjalan? Tentu saat ini kita masih belum bisa berjalan. Begitu pula dalam kehidupan nyata, kegagalan diibaratkan jatuh. Bila ingin sukses teruslah belajar dan mengevaluasi kegagalan bukannya berhenti. Jadikan kekalahan dan kegagalan sebagai bagian jalan menuju kesuksesan.
Bagi orang sukses, hidup adalah peluang untuk mencapai kesuksesan. Kiat-kiat berikut ini disarikan dari hasil penelitian terhadap orang-orang sukses. Apa sebenarnya yang mereka ketahui dan lakukan untuk menjadi sukses?
Berikut kiat menjadi orang sukses yang bisa Anda terapkan dalam kehidupan Anda:
1. Orang sukses mau mengambil resiko. Mereka berupaya untuk mencapai target, melakukan penghematan, membangun relasi dengan banyak orang dan gesit mencoba sesuatu yang baru guna mengikuti perkembangan zaman, dan mau terus mengambil resiko untuk meraih sukses.
2. Orang sukses percaya diri dan merasakan bahwa mereka berbuat sesuatu untuk dunia. Mereka memandang sebuah dunia sebagai sesuatu yang besar dan ingin memainkan peranan penting di dalamnya. Mereka tetap bekerja sesuai ketrampilan mereka, sambil tetap menyadari bahwa ketrampilan ini memberi nilai kepada ketrampilan lainnya. Mereka juga sadar, karya terbaik akan menghasilkan kompensasi bagi mereka.
3.  Orang sukses menikmati apa yang sedang mereka lakukan. Mereka mampu melihat pekerjaan sebagai kesenangan, mereka memilih bekerja di mana mereka dapat unggul. Orang sukses menyukai tantangan, mereka menikmati pencapaian puncak permainan mereka, apakah di pekerjaan, lapangan tennis atau lapangan golf.
4  Orang sukses adalah pelajar seumur hidup. Mereka menyadari, pendidikan tak pernah berakhir tapi dimulai di setiap tingkatan kehidupan dan terus berlanjut hingga akhir kehidupan. Pendidikan tidak terbatas di ruang kelas, artinya mencoba ide baru, membaca buku, surat kabar, majalah dan menggunakan internet merupakan bentuk pendidikan pula.
5. Orang sukses berpandangan positif terhadap apa yang dapat mereka kerjakan, dan ini meluas pada hal-hal lain. Mereka percaya gelas itu setengah penuh dan bukan setengah kosong. Mereka menanamkan semangat pada diri sendiri dan dapat membayangkan diri mereka berhasil menyelesaikan suatu tugas sulit atau mencapai penghargaan tertinggi.
6. Orang sukses punya banyak cara untuk memotivasi diri sendiri sehingga dapat terus berkarya lebih baik dari yang lain.
7. Orang sukses menyelesaikan tugas tidak dengan setengah-tengah, dan mereka menggunakan cara kreatif dalam meraih sukses. Meski mungkin membutuhkan waktu lebih lama, mereka akhirnya melampaui garis finish. Mereka memanfaatkan waktu dengan baik dalam mensinergikan kemampuan fisik dan mental untuk mencapai sukses.

Selamat mencoba dan meraih sukses Anda,

source : Dari Berbagai sumber

BERANI BERMIMPI



BERANI UNTUK BERMIMPI

Only who  can see the invisible, can do the impossible! (Hanya mereka yang dapat melihat sesuatu yang tak nampak, yang mampu melakukan sesuatu yang mustahil) Thomas Craliley
Masih ingat ketika waktu masih kecil dulu kita ditanya apa cita – cita dan impian kita? Saat itu kita akan menjawab tanpa ragu, ingin jadi dokter, professor, pilot, guru, pengusaha, atau cita-cita lainnya. Begitu tinggi cita-cita yang kita canangkan. Semua itu kita ucapkan seakan tanpa beban. Bahkan dengan bangganya kita ucapkan secara lantang.
Sebenarnya secara tidak langsung kita diajari memiliki mimpi besar dan cita-cita tinggi. Tapi sekarang? Seakan semua berubah 180 derajat. Ajaran-ajaran yang dulu kita dapatkan sirna begitu saja seakan diterbangkan angin lalu. Dengan perjalanan waktu kita semakin bertambah dewasa. Tapi dengan bertambahnya usia tidak serta merta membuat kita semakin berani bermimpi yang lebih tinggi. Justru sebaliknya, banyak yang kemudian semakin tidak berani bermimpi.

Padahal meraih kesuksesan adalah sebuah pilihan. Merangkai mimpi menuju harapan yang cerah adalah hak setiap orang. Semua insan boleh berharap, berangan - angan menjadi dan melakukan yang terbaik. Semua itu pilihan. Jika memang ingin meraih apa yang pernah kita canangkan sebagai cita-cita, maka yang pertama kali harus kita lakukan adalah memilih jalan kesuksesan tersebut. Pilihan itu akan membentuk sebuah paradigma yang kembali akan membentuk sikap kita, karena paradigma itu akan menanamkan sebuah visi yang akan mengarahkan kita kepada apa yang menjadi pilihan hidup kita.
Semua orang pernah melakukan kesalahan. Semua orang pernah keluar dari jalur yang telah ia pilih sebagai jalan hidupnya. Namun cukuplah satu kali kesalahan itu menjadi pembelajaran yang bermakna, yang justru akan menjadikan kita sebagai manusia yang “tak akan pernah salah lagi”. Orang cerdas akan menjadikan kesalahan sebagai referensi sekaligus motivasi agar ia tak pernah jatuh pada lubang yang sama. Ia juga akan menjadikannya sebuah tantangan. Ia tertantang untuk membuktikan bahwa ia mampu mengatasi, atau bahkan menaklukkan kesalahan-kesalahan yang pernah ia perbuat. Konsekuensi logisnya, ia akan mampu menjadi luar biasa justru dari kesalahan itu. Kesalahan adalah guru yang paling efektif untuk membina seseorang.
Banyak fakta menunjukkan, terbentuknya seseorang menjadi manusia yang hebat adalah karena ia telah mengalami “penderitaan” terlebih dahulu. Penderitaan di sini harus dimaknai dengan lebih luas. Penderitaan di sini lebih menjurus kepada sikap mental yang gigih dan pekerja keras, selalu bersedia mengalami masalah karena justru dari sanalah kematangan yang sebenarnya akan didapatkan. Seringkali kita menemukan, anak yang berasal dari kalangan tidak mampu namun mampu melanjutkan studinya ke jenjang yang tinggi, akan lebih gigih daripada anak yang berasal dari keluarga mapan. Hal itu karena keprihatinan yang melandanya telah membentuk mentalnya menjadi seorang yang pantang menyerah.
Nada sumbang dapat datang dari mana saja, bahkan dari orang yang sangat dekat dengan kita. Langkah paling bijak untuk menyikapinya adalah dengan menutup mata terhadap suara-suara tersebut. Hanya dengarkan suara-suara yang mendorong kita ke arah yang lebih baik, abaikan sisanya. Orang tak akan pernah lelah untuk mengomentari segala hal yang kita lakukan. Mereka hanya akan berhenti jika kita telah membuktikan kalau kita berhasil mencapai apa yang menjadi tujuan kita.
Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. Bermimpi besar bukanlah pantangan, namun justru kewajiban. Kejarlah mimpi itu. Jadilah pejuang, jangan jadi orang biasa saja. Jadilah sang pemain kehidupan, jangan mau selalu jadi penonton. Jadilah bukti itu sendiri, jangan menunggu bukti dari orang lain.
“Beranilah bermimpi, dan bangunlah untuk mengejar mimpi-mimpi itu. Jika kesempatan menghampiri, itu baik. Namun jika tidak, ciptakanlah kesempatan itu.”

*disarikan dari berbagai sumber

Tamu



Tamu


Pada sebuah peristiwa nggak disengaja, entah berapa tahun yang lalu, gue ketemu seorang teman lama. Katakanlah namanya si Bedul. Sebagaimana lazimnya orang kantoran yang baik dan benar, pertanyaan pertama yang ditukar adalah soal kerjaan. Dari situlah gue tau betapa menderitanya hidup Bedul sebagai pegawai.
Pertama-tama, dia kerja rodi. Nggak jelas kapan boleh pulang dari kantor. Bossnya suka ngasih kerjaan menjelang jam 5 sore. Akibatnya, Bedul pulang malam tiap hari.
Apakah imbalannya sepadan?
Ternyata enggak. Di penilaian kerja tahunan, boss cuma ngasih nilai 3 dari skala 1-5; alias pas-pasan. Wajar kalo Bedul kecewa dan merasa diperlakukan nggak adil. Apalagi saat Bedul melihat banyak orang baru bergabung di perusahaannya, dan dapat posisi yang lebih baik dari dia.
Beberapa bulan setelah ketemu Bedul, gue ketemu dengan Jarwo, yang kebetulan sekantor dengan Bedul. Teringat obrolan dengan Bedul, gue pun nanya ke Jarwo, seperti apa suasana kerja di kantornya.
“Baik-baik aja kok. Suasananya enak, bossnya baik,” jawab Jarwo enteng.
“Lho, kok…”
“Kenapa, abis ngobrol sama si Bedul ya?” tembak Jarwo. “Kalo dengerin omongan dia, kesannya emang kantor kami kayak kamp Gestapo. Tapi itu gara-gara ulahnya sendiri, kok.”
“Kata Bedul, bossnya suka ngasih kerjaan sore-sore pas mau pulang. Jadi dia terpaksa lembur,” jawab gue masih belum percaya.
“Mau tau kenapa begitu? Karena sehabis makan siang si Bedul itu suka ngilang nggak jelas ke mana. HP ditinggal di meja, nggak bisa dikontak, baru nongol lagi jam 4. Ya tentu aja bossnya baru bisa ngasih kerjaan jam segitu!”
===
Seorang teman lainnya, sebut aja bernama Danang (karena memang itulah nama aslinya) pernah bilang, orang-orang sejenis Bedul itu punya mentalitas seorang tamu.
Kenapa tamu?
Karena, secara umum tamu adalah pihak yang harus dilayani dan disenangkan hatinya. Disuguhi makan dan minum dengan suguhan terbaik yang dimiliki sang tuan rumah, dan diperlakukan sebaik mungkin.
Seorang tamu nggak punya kewajiban, bahkan nggak selayaknya, melakukan apapun di rumah yang dikunjunginya. Dia hanya boleh duduk manis dan menerima apa pun perlakuan tuan rumah. Tentunya kalau ada hal yang nggak beres, semisal minumannya kurang dingin atau kuenya melempem, maka itu adalah sepenuhnya kesalahan sang tuan rumah. Tamu, berhak untuk ngomel karena telah diperlakukan kurang pantas, atau minimal ngedumel dalam hati.
Masalahnya, di kantor, si Bedul bukanlah tamu.
Justru sebaliknya, dia adalah orang yang dibayar untuk kerja. Artinya, sebelum komplen ini-itu soal boss dan tempat kerja, pertanyaan pertama yang sewajarnya diajukan Bedul kepada dirinya sendiri adalah:
“Apakah gue udah melakukan sesuatu yang minimal sepadan dengan gaji yang gue bawa pulang?”
Biasanya, walau nggak semua, orang-orang seperti Bedul memang kurang becus kerja. Itulah sebabnya mereka dapet perlakuan nggak simpatik dari bossnya.
- “Boss taunya nyuruh, nggak pernah ngajarin” – sementara puluhan pegawai lain sibuk belajar mandiri biar makin pinter
- “Boss nggak pernah ngasih arahan yang jelas” – sementara temen-temennya pada kreatif berinovasi
- “Boss pelit nggak pernah naikin gaji” – gimana mau naik gaji kalo hasil kerjanya nggak pernah bener?
Dalam kondisi seperti itu, memposisikan diri sebagai tamu bukan cuma nggak tepat, tapi juga berbahaya.
Berbahaya, karena Bedul nggak merasa ada yang salah pada dirinya padahal kenyataannya dia terus-menerus mengecewakan orang-orang yang telah membayarnya. Kita tau bahwa perusahaan bergerak dengan hukum ekonomi: uang yang dikeluarkan untuk membayar gaji harus sepadan, atau kalau bisa lebih kecil dari kinerja yang diterima. Kalo enggak, ya mohon maap, silakan minggir.
Lantas gimana dengan orang-orang yang udah kerja bener tapi nggak dapet penghargaan layak dari perusahaan? Masa nggak boleh komplen?
Tentu boleh. Bahkan, nggak usah repot-repot komplen: pindah aja ke perusahaan lain yang mau menghargai.
Maunya sih gitu, tapi jaman sekarang kan cari kerjaan nggak gampang…
Kalo gitu, ya nggak usah banyak cing-cong: syukuri kerjaan yang udah ada di tangan sementara di luar sana jutaan orang masih nganggur. Konsekuen aja lah: selama masih doyan (dan butuh) sama gaji dan fasilitas dari perusahaan, maka lebih baik berusaha kerja yang bener tanpa banyak komplen.
Coba deh sekali-sekali bayangin diri sebagai tuan rumah. Bayangin lu capek-capek nyuguhin minum dan makan ke tamu, yang semuanya dia caplok sampe ludes, tapi di saat yang bersamaan nggak berhenti ngeluh: ngatain rumah lu sempit, banyak nyamuk, gerah, tehnya kurang manis, kuenya kurang empuk, sofanya ambles…
Berapa lama lu bisa menahan diri untuk nggak ngomong:
BRO, KALO NGGAK SENENG SAMA RUMAH GUE, NGAPAIN LU MASIH DI SINI? MENDING MINGGAT AJA GIH!”

source: http://mbot.wordpress.com

Mengenai Saya, silahkan Klik: https://www.linkedin.com/pub/setyawan-roses/44/583/bba

Foto saya
Peduli & Concern Tentang Sales - Saving & Personal Financial Planning