Kisah Si Lokomotif, Sang Atlet, dan Si Ibu Tua
Alkisah tersebutlah sebuah negeri di mana
semua lokomotif kereta bisa berbicara seperti manusia. Pada suatu hari, para
lokomotif mendapat tugas menarik serangkaian gerbong yang sangat panjang dan
berat melintasi sebuah gunung yang sangat tinggi. Semua lokomotif menganggap
tugas tersebut mustahil, kecuali sebuah lokomotif kecil. Lokomotif lainnya yang
jauh lebih besar dan kuat mencemooh lokomotif kecil ini. Mereka menganggap diri
mereka yang lebih kuat saja tidak akan sanggup mengemban tugas seperti ini,
apalagi lokomotif kecil yang lemah itu.
Tanpa
mengindahkan cemoohan lokomotif lainnya, si lokomotif kecil berusaha menghela
rangkaian gerbong ke atas bukit. Tak henti-hentinya ia berpikir, “aku bisa, aku
bisa!” Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya ia terus mendaki dan akhirnya
berhasil melewati puncak bukit.
Ya,
cerita tadi memang hanya cerita anak-anak berjudul ‘The Little Engine That
Could’ yang ditulis oleh Mary C. Jacobs. Walaupun demikian, bukan berarti
kisah yang sama tidak terjadi di dunia nyata.
Hendrawan,
atlet bulutangkis Indonesia di era 90-an juga memiliki pengalaman yang sama.
Tahun 1997, Hendrawan dinyatakan sudah habis kariernya oleh PBSI. Karena faktor
usia dan prestasinya yang menurun, PBSI bermaksud mengeluarkan Hendrawan dari
Tim Pelatnas. Tapi Hendrawan punya keyakinan sendiri, bahwa kemampuannya
belumlah habis. Ia percaya bahwa dirinya masih dapat meraih prestasi yang lebih
baik lagi.
Tahun
1998, Hendrawan menjadi penentu kemenangan Tim Thomas Indonesia sekaligus
menjuarai Singapura Terbuka. Di tahun 2000, Hendrawan kembali menjadi penentu
kemenangan Tim Thomas Indonesia. Di tahun itu pula ia mengukir namanya dengan
meraih medali perak dalam Olimpiade Sydney. Masih di tahun yang sama, ia
menjadi runner-up Jepang Terbuka. Kemudian di tahun 2001, ia merebut gelar
Juara Dunia Tunggal Putra, sebuah gelar paling prestisius dalam cabang bulu
tangkis. Tahun 2002, ia kembali membawa Indonesia mempertahankan Piala Thomas
ke Tanah Air.
Bukan
hanya atlet dengan fisik prima seperti Hendrawan yang bisa berprestasi. Percaya
pada diri sendiri, percaya akan kemampuannya, dapat ditunjukkan oleh siapa pun.
Tanpa mengenal pekerjaan, status, umur dan jenis kelamin.
Masih
ingat kisah Mak Eroh yang pernah ditayangkan di SEMMangat Jumat ? Prestasi Mak
Eroh berangkat dari keprihatinan beliau pada kondisi para petani di sekitar
tempat tinggalnya yang sangat tergantung pada musim hujan. Mereka hanya dapat
bertani sekali setahun, saat hujan datang. Mak Eroh yakin, apabila para
petani mendapatkan aliran air yang kontinu, mereka dapat bertani sepanjang
tahun.
Tak
ingin berpangku tangan, Mak Eroh yang telah berusia 50 tahun ini berjuang
sendirian membuat saluran air yang menghubungkan mata air di puncak Gunung
Galunggung ke desanya. Selama 47 hari beliau bergelantungan sendirian di tebing
cadas yang curam untuk membuat saluran air. Tidak ada orang yang membantu
karena orang-orang berpikir itu adalah pekerjaan sia-sia dan mustahil.
Alih-alih membantu, penduduk desanya malah mencibir dan mencemooh.
Mak
Eroh yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas III SD ini, hanya menggunakan
tali areuy, tali sejenis rotan sebagai penahan ketika bergelantungan. Sedangkan
alat yang dipakai untuk ‘mengebor’ tebing cadas hanyalah cangkul dan balincong,
serupa linggis pendek.
Cibiran
dan cemoohan penduduk akhirnya bungkam saat saluran air buatan Mak Eroh jadi
dan berhasil mengalirkan air ke desanya. Namun Mak Eroh tidak berhenti sampai
di situ. Dengan semangat yang tak kenal menyerah, Mak Eroh melanjutkan membuat
saluran air berikutnya sepanjang 4,5 kilometer mengitari 8 bukit dengan
kemiringan 60-90 derajat. Kali ini pengerjaannya dibantu oleh warga desa yang
kini telah percaya dengan semangat Mak Eroh. Dalam waktu 2,5 tahun, pekerjaan
lanjutan itu terselesaikan dengan baik. Hasilnya? Bukan hanya lahan pertanian
sawah Desa Santana Mekar yang terairi sepanjang tahun. Tapi juga dua desa
tetangga yang ikut menikmati kucuran air hasil kerja keras Mak Eroh setelah
warganya membuat saluran penerus, yaitu Desa Indrajaya dan Sukaratu. Total 25
hektar area persawahan terairi sepanjang tahun berkat kerja keras Mak
Eroh.
Aksi
Mak Eroh akhirnya sampai juga ketelinga Presiden Suharto. Atas aksinya yang
tergolong berani dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat sekitar, Mak
Eroh mendapat penghargaan Upakarti Lingkungan Hidup pada tahun 1988. Setahun
kemudian,
dia juga meraih penghargaan lingkungan dari PBB.
dia juga meraih penghargaan lingkungan dari PBB.
Dua
kisah di atas memberi hikmah bahwa sebenarnya kita memiliki kepercayaan diri
yang tinggi atas kemampuan yang dimiliki. Seperti yang dikatakan oleh Mary Kay
Ash, pengusaha kosmetik sukses asal Amerika, ”Anda bisa melakukannya jika Anda
berpikir demikian, dan jika Anda kira tidak dapat melakukannya, Anda pun
benar.” William Arthur Ward, penulis kondang asal Amerika mengatakan, ”Saya
adalah pemenang karena saya berpikir seperti pemenang, bersiap jadi pemenang,
dan bekerja serupa pemenang.” Ward betul, jika Anda berpikir menjadi seorang
pemenang, maka memang benar Anda seorang pemenang.
Percaya
akan kemampuan diri sendiri. Jadilah lokomotif dan teruslah bergerak untuk
maju.
*dari
berbagai sumber