Kamis, 18 Desember 2014

Tamu



Tamu


Pada sebuah peristiwa nggak disengaja, entah berapa tahun yang lalu, gue ketemu seorang teman lama. Katakanlah namanya si Bedul. Sebagaimana lazimnya orang kantoran yang baik dan benar, pertanyaan pertama yang ditukar adalah soal kerjaan. Dari situlah gue tau betapa menderitanya hidup Bedul sebagai pegawai.
Pertama-tama, dia kerja rodi. Nggak jelas kapan boleh pulang dari kantor. Bossnya suka ngasih kerjaan menjelang jam 5 sore. Akibatnya, Bedul pulang malam tiap hari.
Apakah imbalannya sepadan?
Ternyata enggak. Di penilaian kerja tahunan, boss cuma ngasih nilai 3 dari skala 1-5; alias pas-pasan. Wajar kalo Bedul kecewa dan merasa diperlakukan nggak adil. Apalagi saat Bedul melihat banyak orang baru bergabung di perusahaannya, dan dapat posisi yang lebih baik dari dia.
Beberapa bulan setelah ketemu Bedul, gue ketemu dengan Jarwo, yang kebetulan sekantor dengan Bedul. Teringat obrolan dengan Bedul, gue pun nanya ke Jarwo, seperti apa suasana kerja di kantornya.
“Baik-baik aja kok. Suasananya enak, bossnya baik,” jawab Jarwo enteng.
“Lho, kok…”
“Kenapa, abis ngobrol sama si Bedul ya?” tembak Jarwo. “Kalo dengerin omongan dia, kesannya emang kantor kami kayak kamp Gestapo. Tapi itu gara-gara ulahnya sendiri, kok.”
“Kata Bedul, bossnya suka ngasih kerjaan sore-sore pas mau pulang. Jadi dia terpaksa lembur,” jawab gue masih belum percaya.
“Mau tau kenapa begitu? Karena sehabis makan siang si Bedul itu suka ngilang nggak jelas ke mana. HP ditinggal di meja, nggak bisa dikontak, baru nongol lagi jam 4. Ya tentu aja bossnya baru bisa ngasih kerjaan jam segitu!”
===
Seorang teman lainnya, sebut aja bernama Danang (karena memang itulah nama aslinya) pernah bilang, orang-orang sejenis Bedul itu punya mentalitas seorang tamu.
Kenapa tamu?
Karena, secara umum tamu adalah pihak yang harus dilayani dan disenangkan hatinya. Disuguhi makan dan minum dengan suguhan terbaik yang dimiliki sang tuan rumah, dan diperlakukan sebaik mungkin.
Seorang tamu nggak punya kewajiban, bahkan nggak selayaknya, melakukan apapun di rumah yang dikunjunginya. Dia hanya boleh duduk manis dan menerima apa pun perlakuan tuan rumah. Tentunya kalau ada hal yang nggak beres, semisal minumannya kurang dingin atau kuenya melempem, maka itu adalah sepenuhnya kesalahan sang tuan rumah. Tamu, berhak untuk ngomel karena telah diperlakukan kurang pantas, atau minimal ngedumel dalam hati.
Masalahnya, di kantor, si Bedul bukanlah tamu.
Justru sebaliknya, dia adalah orang yang dibayar untuk kerja. Artinya, sebelum komplen ini-itu soal boss dan tempat kerja, pertanyaan pertama yang sewajarnya diajukan Bedul kepada dirinya sendiri adalah:
“Apakah gue udah melakukan sesuatu yang minimal sepadan dengan gaji yang gue bawa pulang?”
Biasanya, walau nggak semua, orang-orang seperti Bedul memang kurang becus kerja. Itulah sebabnya mereka dapet perlakuan nggak simpatik dari bossnya.
- “Boss taunya nyuruh, nggak pernah ngajarin” – sementara puluhan pegawai lain sibuk belajar mandiri biar makin pinter
- “Boss nggak pernah ngasih arahan yang jelas” – sementara temen-temennya pada kreatif berinovasi
- “Boss pelit nggak pernah naikin gaji” – gimana mau naik gaji kalo hasil kerjanya nggak pernah bener?
Dalam kondisi seperti itu, memposisikan diri sebagai tamu bukan cuma nggak tepat, tapi juga berbahaya.
Berbahaya, karena Bedul nggak merasa ada yang salah pada dirinya padahal kenyataannya dia terus-menerus mengecewakan orang-orang yang telah membayarnya. Kita tau bahwa perusahaan bergerak dengan hukum ekonomi: uang yang dikeluarkan untuk membayar gaji harus sepadan, atau kalau bisa lebih kecil dari kinerja yang diterima. Kalo enggak, ya mohon maap, silakan minggir.
Lantas gimana dengan orang-orang yang udah kerja bener tapi nggak dapet penghargaan layak dari perusahaan? Masa nggak boleh komplen?
Tentu boleh. Bahkan, nggak usah repot-repot komplen: pindah aja ke perusahaan lain yang mau menghargai.
Maunya sih gitu, tapi jaman sekarang kan cari kerjaan nggak gampang…
Kalo gitu, ya nggak usah banyak cing-cong: syukuri kerjaan yang udah ada di tangan sementara di luar sana jutaan orang masih nganggur. Konsekuen aja lah: selama masih doyan (dan butuh) sama gaji dan fasilitas dari perusahaan, maka lebih baik berusaha kerja yang bener tanpa banyak komplen.
Coba deh sekali-sekali bayangin diri sebagai tuan rumah. Bayangin lu capek-capek nyuguhin minum dan makan ke tamu, yang semuanya dia caplok sampe ludes, tapi di saat yang bersamaan nggak berhenti ngeluh: ngatain rumah lu sempit, banyak nyamuk, gerah, tehnya kurang manis, kuenya kurang empuk, sofanya ambles…
Berapa lama lu bisa menahan diri untuk nggak ngomong:
BRO, KALO NGGAK SENENG SAMA RUMAH GUE, NGAPAIN LU MASIH DI SINI? MENDING MINGGAT AJA GIH!”

source: http://mbot.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenai Saya, silahkan Klik: https://www.linkedin.com/pub/setyawan-roses/44/583/bba

Foto saya
Peduli & Concern Tentang Sales - Saving & Personal Financial Planning